Teman Les
Andi tersenyum penuh kemenangan sambil memandang perempuan yang ada dihadapannya. Ia sudah menaklukkan hati Tia, anak yang paling disegani dan susah untuk didekati. Namun, sebagian besar dari mereka yang menyaksikan tidak kaget lagi. Siapa yang tidak kenal dengan Andi? Perempuan cantik nan terkenal mana disekolah ini yang belum pernah menjalin hubungan dengan Andi? Semua sudah pernah menjalin hubungan dengan Andi, dari mulai kakak kelas yang sudah lulus, yang mau lulus, teman seangkatan dan adik kelas. Banyak perempuan yang sakit hati karenanya tapi ia tidak peduli. Dia pikir itu adalah balasan untuk mereka-mereka yang sok cantik dan tenar. Namun, tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan hingga sekarang.
Andi. Seorang anak yang sekarang ini berumur 17 tahun. Dia bersekolah disebuah sekolah menengah atas negeri. Kulitnya tidak putih seperti bule-bule yang mampir ke Indonesia juga tidak hitam seperti presiden Amerika yang sekarang. Hidungnya agak mancung jika dilihat dari samping. Ada sedikit rambut-rambut halus diatas bibirnya. Wajahnya tidak tampan, hanya manis dan menarik. Ketika ia berbicara, ia selalu menarik kedua sudut bibirnya.
Malam ini Andi berniat untuk ikut tambahan ditempat lesnya. Kebetulan pelajarannya adalah matematika, pelajaran yang paling ia tidak mengerti. Walaupun begitu, berhubungan dengan sebentar lagi ia akan menghadapi UN, dia ingin berusaha untuk mempelajarinya. Maka dari itu, ia selalu mengikuti tambahan jika pelajarannya matematika.
“Lu dateng, bro? Ini kan malem minnggu.” Tanya temannya, Bima, saat ditempat les.
“Lah emang napa kalo ini malem minggu? Masih banyak nih yang belom gua ngerti.” Jawab Andi.
“Si Tia gimana tuh? Gak diapelin. Entar ngamuk-ngamuk lagi si Tia.” Tanya Bima menggoda.
“Bodo amet, dah. Tadi si udah ngomel ditelpon. Katanya mau nungguin gua ampe malem diteras rumah gua. Biarin aja dia jamuran disana.” Jawabnya tanpa bersalah sambil tertawa kecil.
“Ampun dah nih anak, tega banget si lu. Anak orang tuh.”
“Tega aja, tega banget mah udah gua KDRT-in dia. hahaha.” Candanya disambut dengan tawa Bima.
“Oi, An. Tumben cepet.” Sapa OB tempat lesnya.
“Gurunya belom dateng ya? Gua mau numpang maen ya dikomputer lu.” Andi segera mendekati komputer operator dimeja resepsionis.
“Janganlah kau kacaukan itu komputer. Nanti ada data yang ilang, saya yang disemprot.” Larang OB dengan logat bataknya yang kental.
“Yaelah. Bentar.” Andi tetap memainkan komputernya. Akhirnya OB tersebut mengizinkan.
Andi melirik jam. Sudah satu jam ia menunggu guru pengajarnya yang tak kunjung datang. Ia sudah mulai merasa bosan, terus memainkan komputer dihadapannya. Ia menopang dagunya sambil memainkan mouse ditangannya. Anak yang lainpun sudah datang dan menunggu seperti Andi. Tiba-tiba ada suara yang mengejutkan Andi.
“Mas, Miss Pita udah dateng?” Tanya anak itu. Suaranya lembut tapi tegas. Andi melihat kearahnya. Entah ada apa dengan Andi, ia merasa jantung berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Andi kira anak itu bertanya dengannya tapi ternyata dengan mas-mas OB disebelahnya yang menjawab pertanyaan anak itu. Andi berusaha mengatur detaknya agar kembali normal. Tak lama kemudian, guru yang ditunggunya pun datang dan sesaat kemudian jantungnya sudah normal kembali.
Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Tambahan matematika sudah berakhir satu jam yang lalu, tapi Andi enggan pulang karena malas bertemu dengan Tia yang sedari tadi sudah menelponnya. Andi hanya mengutak atik barang-barang yang ada dihadapannya. Entah itu pulpen, pensil, kertas bahkan kotak tisupun ia mainkan. Setiap barang yang ia pegang, pasti menimbulkan suara dari mulut OBnya. Pasti OB itu melarangnya, tapi Andi tidak peduli.
“Hei, Ta. Kamu mau pulang?” Tanya OB itu dengan nada merayu. Andi melihat kearahnya. Ternyata ia berbicara dengan anak itu lagi. Jantung Andi mulai mempercepat detaknya secara tiba-tiba. Andi memperhatikan anak itu dari atas sampai bawah dan detaknya pun semakin bertambah cepat. Andi berusaha mengendalikan.
“Mas, kalo ibu saya sms tuh dibales. Kan ibu saya jadi gak percaya lagi, abisnya tiap sms ga dibales. Entar kan disangkanya saya boongan mau les.” Anak itu ngomel-ngomel seperti anak kecil. Tanpa disadari, Andi tersenyum kecil melihat anak itu.
“Tau nih. Gak boleh gitu, mas.” Andi tiba-tiba ikut berbicara. Anak itu menolehkan kepalanya dan mengernyitkan keningnya. Andi balik menatapnya. Canggung. Kemudian anak itu berlalu dari hadapannya. Andi tetap melihatnya walaupun hanya setitik yang terlihat.
“Siapa dia?” Gumam Andi pelan lalu memalingkan wajahnya.
Akhirnya Andi memutuskan untuk pulang karena tempat lesnya sudah sepi dan hanya ia, anak murid yang tertinggal disana. Andipun tidak enak dengan mas OB-nya yang ingin beristirahat. Setibanya dirumah, ia melihat Tia yang sudah terlihat bosan namun tetap bertahan diterasnya. Andi membunyikan klakson motornya. Tia tampak terkejut tapi wajahnya berubah berseri-seri karena melihat Andi. Tia mennghampiri Andi yang tetap duduk dimotornya.
“Pulang yuk.” Ajak Andi dengan dingin.
“Kok, pulang sih? Aku kan pengen ngobrol-ngobrol dulu sama kamu.” Tanya Tia dengan manja.
“Tadi mama kamu udah nelpon aku. Katanya kamu disuruh pulang.” Jawab Andi bohong. Tia tampak kecewa namun menuruti apa mau Andi. “Kita ngobrol sambil jalan aja ya.” Lanjut Andi berusaha merayu.
“Oke.” Jawab Tia dengan kesal.
Sepanjang jalan menuju rumah Tia, Andi hanya diam saja dan menjawab sekenanya jika ditanya oleh Tia. Tia terus bercerita panjang lebar. Bercerita tentang sesuatu yang menurut Andi sama sekali tidak penting. Selang dua puluh menit kemudian, mereka tiba dirumah Tia. Tanpa basa basi Tia segera turun.
“Makasih ya sayang. Aku masuk dulu ya. Bye.” Tia melambaikan tangannya.
“Tia, tunggu.” Andi segera menarik tangan Tia yang sudah berbalik badan. “Maaf ya....” Lanjut Andi. Tia melempar senyumannya yang berarti ‘ya’. “Mulai malem ini kita putus aja. Gua gak bisa punya cewek yang agresif.” Andi meneruskan. Perlahan tapi pasti. Wajah Tia berubah ekspresi dan mulai memucat. “Maaf ya.” Sekali lagi Andi mengucapkan kata-kata itu dan segera meninggalkan Tia dengan kecepatan tinggi. “Misi ke-17 selesai.” Gumamnya sambil tersenyum penuh kemenangan seperti saat menyatakan cinta palsunya ke Tia.
Bagi Andi, misinya adalah mematahkan hati para gadis yang terlalu sombong dikeseharian, perempuan-perempuan yang sok punya kelebihan. Andi tersenyum puas. Misi selanjutnya adalah Angel, teman satu kelas ditempat lesnya. Wajahnya cantik seperti wanita di Korea dan memiliki postur tubuh yang ideal. Seringkali Andi melihatnya berlagak sok sempurna, dan Andi tidak suka itu.
Andi melirik jam digital dimeja belajarnya. Pukul 01.00. Harusnya ia sudah selesai menyusun rencana untuk menaklukkan Angel, agar besoknya ia sudah mulai bisa menjalankan misinya, namun bayang-bayang wajah anak ditempat lesnya tadi tiba-tiba muncul. Andi terus bertanya-tanya didalam hatinya. Seorang anak yang hanya memakai kaos berkerah dan celana jins dan juga punya kesan tidak rapih bisa membuat jantungnya berdetak lebih cepat dan tidak bisa melupakan paras anak itu. Ada apa dengan Andi dan apa yang spesial dari anak itu? Bahkan Andi sama sekali tidak melihat senyumannya.
“Siapa dia?” Tanya Andi pada dirinya sendiri.
*****
Andi memainkan pensil yang ia pegang dan tampak sedang berpikir. Sejak bertemu dengan anak itu, malam minggu yang lalu, sikap Andi berubah menjadi pendiam dan selalu tampak seperti sedang berpikir. Teman-temannya pikir, Andi terkena karma dari Tia, karena pertemuan itu bersamaan dengan Andi memutuskan Tia dan tidak ada satupun temannya yang tahu yang sebenarnya. Bahkan, rencananya untuk mendekati Angel belum terlaksanakan sama sekali. Andi hanya dua kali seminggu bertemu Angel ditempat les, sedangkan minggu ini Andi dan Bima berniat datang lebih awal sebelum kelas lesnya dimulai untuk mengikuti try out sehingga Andi tidak bisa bertemu Angel.
“Lu yakin nanti kita dateng lebih awal ketempat les, An?” Tanya Bima mengejutkan Andi yang asyik dengan pensilnya.
“Hah?” Tanya Andi dengan wajah tak bersalah.
“Aduh, Ndi. Lu kenapa sih? Disantet Tia ya? Jadi aneh gini lu abis mutusin dia.”
“Eh, kalo nama yang ada ‘Ta’-nya itu apa aja ya selain Prita sama Ita?” Tanya Andi tidak nyambung.
“Hah? Apaan sih, Ndi. Gak nyambung lu.” Jawab Bima heran.
“Ada gak?” Andi tetap bertahan dengan pertanyaannya.
“Banyak.” Jawab Bima menyerah. Ia mulai prihatin dengan temannya yang tiba-tiba saja berubah. “Tata, Tamara, Miss. Pita...”
“Kok Miss Pita sih? Itu mah guru kita. Yang laen dong.” Protes Andi.
“Tita, Talita, Nita.... Banyak, Ndi.” Bima meneruskan. Andi hanya mengangguk anggukkan kepalanya.
“Hmm.... Banyak juga ya. Oia, entar jadi ya dateng lebih awal ketempat les.” Andi mengulangi kata-kata Bima.
Bima menggangguk sambil mendesah dengan keras. “Kasian banget sih lu, Ndi.” Gumam Bima.
Jam tangan Andi menunjukkan pukul dua siang. Andi memarkirkan motornya yang baru saja sampai ditempat lesnya. Tampak Bima yang sudah menunggunya. Mas OB menyuruh mereka ikut bergabung dengan kelas IPA yang juga sedang melaksanakan try out. Ketika memasuki kelas, Andi merasa ada sesuatu yang membuatnya gugup dan tangannya terasa beku. Saat mengambil bangku yang letaknya dipojok belakang, barulah ia menemukan sebabnya. Anak itu muncul kembali. Bukan dibayangannya melainkan wujud aslinya yang duduk tepat didepannya. Tiba-tiba Andi merasa otaknya berhenti bekerja dan semua yang ada dikepalanya menghilang. Andi berusaha mengendalikan dirinya.
“Rita.”
Andi tersentak kaget tapi bisa ia kendalikan. Ia mengikuti arah suara. Anak didepan Andi juga mengikuti arah suara dan menjawabnya. Tanpa disadari Andi menaikkan kedua sudut bibirnya dan bergumam dalam hatinya, “Rita”.
Tak terasa, waktu mengerjakan soal try out yang pertama sudah habis. Andi yang sedari tadi tidak bisa konsentrasi hanya bisa pasrah. Andi menopang dagunya yang terasa berat. Diam-diam Andi memperhatikan anak yang baru saja ia ketahui namanya Rita, yang masih duduk didepannya. Tiba-tiba Rita menolehkan kepalanya kebelakang dan tanpa sengaja mereka saling bertemu pandang. Lagi lagi tanpa disadari Andi menarik kedua sudut bibirnya seperti yang biasa ia lakukan. Rita mengernyitkan keningnya, bingung. Waktu berjalan lambat, satu detik-dua detik-tiga detik berlalu Rita baru mengalihkan pandangannya.
Sejak pertemuannya yang kedua dengan Rita, ia semakin mengurungkan niatnya untuk mendekati Angel. Sekarang yang ada dipikiran Andi hanya Rita, Rita dan Rita. Sebenarnya Andi menyadari kalau ia sudah menyukai Rita sejak pertama ia bertemu, namun ia tidak mau jujur dengan dirinya sendiri. Terlebih lagi, sejak pertemuannya yang kedua itu, Andi terus bertemu dengan Rita tanpa sengaja ditempat lesnya. Ketika mereka berpapasan, mereka selalu bertemu pandang.
Tambahan matematika ditempat les sudah dimulai. Andi dan Bima sudah menyiapkan soal-soal yang ditanyakan. Selain mereka berdua, ada juga seorang anak dari jurusan IPA, yang bernama Ibas juga mengikuti tambahan itu. Walaupun mereka berbeda jurusan, namun guru yang mengajari mereka sama. Andi, Bima, Ibas dan gurunya duduk disatu meja yang berbentuk lingkaran. Jadi, memungkinkan mereka dapat mengerti semua yang diajarkan. Selang lima menit kemudian, terdengar suara pintu terbuka. Serentak Andi dan Ibas menoleh kearah pintu tersebut. Rita memunculkan wajahnya dari balik pintu. Ia melihat kearah Ibas, dan melempar senyum. Penyakit Andi kembali kambuh. Otaknya menjadi lumpuh tidak berpikir dan tangannya membeku namun mengeluarkan keringat yang banyak. Andi memasang kedua telinganya untuk mendengarkan pembicaraan antara Rita dan Ibas. Diam-diam Andi dan Rita saling mencuri pandang, melirik satu sam lain.
“Coba, kalian jawab dulu. Nanti kalo ada yang sulit baru tanya saya.” Perintah guru yang duduk diantara Andi dan Ibas kepada Andi dan Bima. Kemudian, guru tersebut mengajarkan Rita dan Ibas. Setiap ada kesalahan dari Ibas, Rita selalu tertawa dengan lepas. Membuat jantung Andi semakin berdetak dengan cepat. “Gimana Bim, Ndi? Ada kesulitan?” Tanya gurunya.
“Emm... Yang ini kak. Saya bingung yang ini.” Jawab Andi asal menunjuk saja. Bima melihatnya dengan heran, karena materi yang Andi tunjuk sebenarnya sudah dipahami oleh Andi.
“Lho... Ini kan yang kemarin saya ajarin. Saya tanya kemarin kamu bilang paham. Kok malah bingung sekarang?” Tanya gurunya lagi.
“Engg.... Saya lupa, kak.” Andi berusaha memberikan alasan
“Berarti kamu kemarin itu gak merhatiin. Sini... Sini....” Akhirnya guru itu mengajarinya lagi. Tapi, Andi sama sekali tidak memerhatikan guru itu menjelaskan. Bahkan, ia ingin tambahan itu cepat berakhir. “Nah, udah ngerti kan kamu?” Tanya guru itu. Andi mengangguk dengan pelan. Lalu, guru itu kembali mengajarkan Rita dan Ibas.
“Ndi, Angel kecelakaan. Katanya tangannya retak.” Bisik Bima mengagetkan Andi. Andi menoleh kearah Bima dengan pandangan tidak percaya. “Ini kesempatan lu narik perhatian, Angel.” Bima melanjutkan. Andi tampak berpikir. Sebetulnya ia sudah malas mendekati Angel, tapi dia tidak mau Bima tahu itu.
“Yaudah. Besok kita jenguk.” Kata Andi dengan ragu sambil melirik Rita yang sedang asyik membaca.
“Rita?” Tidak sengaja Andi mengucapkan nama yang seharusnya ia tidak ucapkan. Andi terlalu kaget melihat Rita berada dirumah Angel hingga hanya itu yang terucap. Angel yang belum tahu dengan kedatangan Andi, langsung terkejut. Begitu juga dengan Rita dan anak-anak yang lain, yang juga menjenguk Angel. Semua memandang Andi dengan heran.
“Kamu kenal Andi, Rit?” Tanya Angel dengan heran. Rita hanya menggeleng dengan bingung. Rita benar-benar bingung. Suasana menjadi hening.
“Gimana keadaan lu, Ngel?” Tanya Bima memecahkan keheningan sekaligus menyelamatkan Andi.
“Yah, gini keadaan gua, Bim.” Jawab Angel sambil menunjukkan tangannya yang dibalut perban.
Andi mendekati Angel. Memegang tangannya yang dibalut sambil mengusap-usap. Membuat Angel salah tingkah. Kemudian, mengajak Angel mengobrol tanpa memedulikan sekitar. Walaupun hati Andi ada yang mengganjal, tapi ia juga harus profesional. Anak-anak yang lain yang datang, mengejek-ejek mereka berdua. Ada juga yang memuji mereka karena terlihat cocok. Angel makin tersipu dan Andi semakin merasakan ganjalan dihatinya. Andi melirik Rita yang sedang memainkan handphone-nya. “Bagaimana ini?” Gumamnya dengan pelan.
Andi membolak-balikkan badannya diatas kasur. Ia tidak bisa tidur karena wajah Rita selalu muncul dibayangannya. Ia juga selalu memkirkan antara ia dan Angel yang keadaannya semakin runyam. Andi harus keluar dari semua misinya karena sejak bertemu dengan Rita, ia sudah tidak punya niat lagi menyakiti siapapun. Andi harus mengakhiri semuanya. Andi mengambil handphone-nya yang berbunyi. Dilihatnya layar handphone tersebut. Tertulis nama Angel.
“Astaga.... Kenapa Angel jadi sama agresifnya sama Tia. Jadian aja belom udah centil nelponin.” Keluh Andi dengan kesal.
“Andi.” Panggil kakaknya sambil membuka pintu kamarnya. “Lu disuruh mama nganterin gua belanja.” Lanjut kakaknya.
“Ya ampun, mbak. Mbak kan bisa berangkat sendiri. Gua lagi pusing nih dari tadi malem gak bisa tidur.” Tolak Andi dengan kesal.
Kakaknya Andi melihat Andi dengan prihatin. “Kasian adek gua. Ampe pucet gitu mukanya.”
“Kalo kasian, keluar sana. Gua mau tidur dulu, mbak.” Usir Andi masih dengan nada kesalnya. Kakaknya pergi dari hadapan Andi tapi tak lama kemudian kembali lagi diikuti dengan ibunya. Tanpa berkata-kata, Andi langsung bangun dan bersiap-siap untuk menemani kakaknya berbelanja. Andi memang paling tidak berani melawan perintah ibunya. Kalau ibunya sudah turun tangan, semua menjadi beres.
Andi melihat satu per satu barang-barang yang sudah tersusun rapih lengkap dengan harganya. Tak ada satupun barang yang membangkitkan semangatnya. Dengan lemas, Andi mendorong trolli sambil mengikuti kakaknya dari belakang. Kakaknya gemas dengan tingkah Andi hari ini. Akhirnya, karena tidak tega menyuruh Andi hanya mengikutinya dari belakang, Kakaknya mengizinkannya untuk melihat-lihat ketempat lain dan mengambil makanan yang ia suka. Barulah Andi sedikit bersemangat karena dibebaskan walau hanya sebentar. Andi langsung ketempat snack yang banyak makanan kesukaannya. Tiba-tiba Andi terpaku melihat anak yang memakai kaos berkerah berwarna biru muda dan celana jins yang sedang memilih makanan.
“Rita?” Nama itu terucap lagi oleh Andi. Anak itu menoleh karena merasa namanya dipanggil.
“Eh, pacarnya Angel ya?” Rita balik menyapa dengan ramah.
“Hah? Bukan bukan. Gua cuma temennya doang.” Jawab Andi dengan keras.
“Eh, iya iya. Maaf ya kalo salah.” Rita merasa bersalah. “Abis kemaren kayaknya mesra banget.”
“Maaf maaf kalo kekerasan ngomongnya. Gua sama Angel gak ada apa-apa kok.” Andi mengecilkan volumenya.
“Iya, gak apa-apa. Oiya, lo tau nama gua dari mana ya?” Tanya Rita bingung.
Deg! Andi memutar otaknya mencari alasan yang tepat. “Eng... Kita kan satu tempat les. Masa’ temen les sendiri gak tau. Iya kan?” Jawab Andi sambil tertawa hambar.
“Iya sih gua suka ngeliat lo, tapi sori yang gua gak tau nama lo.” Kata Rita dengan polos. Andi tersenyum malu tapi ia tak kehabisan akal.
“Yaudah kalo gitu kita kenalan aja.” Usul Andi sambil menyodor tangannya mengajak Rita berjabat tangan. “Kenalin gua Andi anak kelas duabelas IPS satu.”
“Rita kelas duabelas IPA dua.” Rita menyambut tangan Andi sambil tersenyum. Andi membalas senyumnya dan berusaha bersikap biasa.
“Demi Rita gua bakal akhirin misi gua.” Gumam Andi dalam hati sambil terus tersenyum melihat Rita.
Andi tampak gelisah diteras rumahnya. Memang hari ini adalah hari yang luar biasa untuk Andi karena akhirnya ia bisa berbicara dengan satu-satunya orang yang membuat jantungnya berdetak dengan cepat dan membuat otaknya berhenti bekerja, namun dia harus segera menghentikan misinya sesegera mungkin.
“Begini toh rasanya jatuh cinta.” Ucap Andi dengan pelan.
Andi menunggu Angel diluar rumahnya. Hari ini Andi akan memperjelas hubungan ia dengan Angel yang sudah ditanyaka-tanyakan oleh Angel. Andi melihat seorang laki-laki yang duduk diteras Angel dan tampaknya laki-laki itu juga menunggu Angel. Ketika Angel keluar, laki-laki itu memeluk Angel dan Angel sama sekali tidak menolaknya. Andi merasa jijik dengan pemandangan yang ia lihat sekaligus senang. Saat melihat Andi, Angel langsung menghampirinya. Tanpa basa-basi Andi langsung menjelaskan semuanya namun tanpa menyebutkan nama Rita.
“Angel, sori ya. Awalnya gua emang suka sama lo, tapi rasa itu perlahan ilang entah kemana. Kita temenan aja ya.” Jelas Andi. Angel terlihat kecewa, namun Andi yakin itu hanya berpura-pura. Angel mengangguk dengan pelan dan tersenyum. Andipun lega, ternyata sifat Angel lebih parah dari Andi.
Andi menghampiri Rita yang baru saja keluar dari kelasnya. Sebenarnya hari ini Andi tidak ada jadwal tambahan ataupun jadwal les. Hari ini adalah jadwal les Rita dan Andi sengaja datang untuk lebih dekat dengan Rita. Andi melempar senyumannya kearah Rita. Awalnya Rita tidak menyadari kalau Andi tersenyum padanya tapi Andi juga memanggil namanya.
“Eh, Andi. Lagi jadwal lesnya hari ini ya?” Tanya Rita dengan ramah.
“Enggak kok. Tadi cuma matematika sebentar.” Jawab Andi bohong biar tidak terlalu ketara kalau ia sedang mendekati Rita. “Ta, mau pulang?” Tanya Andi. Rita mengangguk. “Bareng gua yuk. Kebetulan gua juga mau pulang.” Andi memulai lagi.
“Yah, sori Ndi. Gua mau nebeng sama temen gua. Gak enak kalo gak jadi. Tuh udah nungguin.” Tolak Rita dengan lembut sambil menunjuk kearah luar. Andi melongok keluar.
“Yaudah gak apa-apa.” Jawab Andi dengan kecewa.
Andi tampak kecewa karena tawarannya ditolak oleh Rita, namun ia tidak kehabisan akal. Tanpa ada yang curiga, ia bisa mendapatkan nomor handphone Rita. Ketika sudah sampai dirumah, Andi langsung menyambar handphone-nya dibawah bantal. Ibu jarinnya menari-nari diatas handphone-nya. Setelah selesai mengetik, ia membaca ulang ketikannya. Kemudian, ada kata-kata yang ia perbaiki. Lalu dibacanya lagi, dan di perbaiki kembali, hingga tiga kali ia melakukan seperti itu. Namun pesannya tidak dikirim olehnya. Sesaat Andi termenung memandang handphone-nya. Tergambar keraguan diwajahnya. Andi mendesah dengan kecang. Andi membatalkan niatnya mengirim pesan singkat untuk Rita.
Setiap hari Selasa dan Jumat, Andi menjadi rajin datang ketempat les. Alasannya untuk ikut pelajaran tambahan, padahal tujuan utama untuk mejemput Rita pulang. Rutinnya Andi menjemput Rita sama Rutinnya dengan Rita yang menolak tawaran Andi, namun Andi tidak mau menyerah. Andipun sering bertemu dengan Rita saat hari lesnya secara kebetulan, karena Rita juga suka mengikuti pelajaran tambahan ditempat lesnya. Hanya saja Rita dan Andi berbeda jam. Saat Andi pulang, Rita baru memulai tambahannya.
“Rita.” Panggil Andi sambil menghampiri Rita. “Udah selesai tambahannya?” Tanyanya dengan semangat.
“Udah. Lo ngapain disini, Ndi? Bukannya udah pulang dari satu jam yang lalu ya?” Tanya Rita balik.
“Gua? Tadi ada urusan gua disini makanya baru pulang.” Jawab Andi bohong lagi.
“Kalo gitu gua pulang duluan ya, Ndi.”
“Bareng gua yuk, Rit.” Ajak Andi sambil menatap Rita penuh harap.
“Maaf ya, Ndi. Gua dijemput.” Tolak Rita dengan lembut. Andi kecewa lagi. Rita berbalik badan meninggalkan Andi, namun Andi mencegahnya.
“Rit, tunggu dong. Rit, salah gua apa sih? kayaknya setiap gua ajak pulang bareng, lo selalu gak bisa. Kenapa sih?” Tanya Andi sambil memelas. Rita tidak menjawab. Ia tampak berpikir. Andi menunggu jawaban dari Rita, namun Rita sama sekali tidak menjawab. “Udahlah, Rit. Pertanyaan gua gak penting ya? Maaf ya kalo bikin bingung. Gua pulang dulu ya, Rit. Bye.” Andi melanglah dengan pelan. Rasa putus asa menyelubungi hatinya. Rita mengikuti Andi dari belakang.
“Cara lo.” Jawab Rita dibelakang Andi. Andi menghentikan langkahnya.
“Maksudnya, Rit?” Tanya Andi bingung.
“Siapa sih yang gak mau tau tentang orang yang disukainnya? Pastinya dari berbagai sumber orang itu akan mencari tau tentang orang yang disukainya. “ Rita melirik Andi yang sedang menunggu jawabannya. “Gua inget pertama kali ketemu lo, kedua kali gua ngeliat lo dan gua tau gimana lo, tapi gua bukan cewek-cewek yang pernah jadi pacar lo.”
“Jadi lo suka sama gua, Rit?” Tanya Andi yang langsung mengambil kesimpulan dari perkataan Rita dengan wajah berseri-seri.
“Cara lo salah, Ndi.” Jawab Rita dengan gemas. “Lo salah memperlakukan gua. Seolah-olah setelah jadi sama lo gua langsung dibuang kayak pacar-pacar lo yang dulu. Belajar ngehargain perasaan orang, Ndi.” Lanjut Rita.
“Maaf, Rit. Gua gak sadar kalo lo merasa kayak gitu. Gua punya alasan tertentu kok ngelakuin itu, tapi demi lo gua bakal berubah, Rit. Jangan marah apalagi benci sama gua, Rit.” Andi merasa bersalah karena secara tidak langsung telah menyakiti orang yang ia sukai.
“Apapun alasan lo, rubah itu. Jangan boong lagi kalo mau jemput bilang aja mau jemput. Gua percaya lo bisa berubah jadi orang yang lebih baik.” Ucap Rita sambil tersenyum, membuat hati Andi berbunga-bunga. Andi membalas senyum Rita dengan senang. Andi berniat langsung menyatakan cintanya untuk Rita, namun Rita menyela Andi saat akan berbicara. “Jangan katakan apa-apa dulu sebelum lo buktiin perubahan lo. Gua bakal tunggu saat itu tiba.” Lanjut Rita. Andi makin mengembangkan senyumnya.
“Janji untuk Rita tersayang.” Andi mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk angka dua. Rita tertawa renyah sambil mengangguk.
3 Mei 2011,
Nindya Khairani