I.
TEORI
ETIKA
Salah satu karakteristik yang membedakan
setiap profesi dengan masyarakat pada umumnya adalah kode etik perilaku
professional atau etika para anggotanya. Pengertian etika, dalam bahasa latin
"ethica", berarti falsafah moral. Ia merupakan pedoman cara
bertingkah laku yang baik dari sudut pandang budaya, susila serta agama. Istilah
etika jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), memiliki tiga
arti, yang salah satunya adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat. Kata lain untuk etika ialah moralitas (morality.) Dari beberapa definisi di
atas dapat disimpulkan bahwa etika merupakan seperangkat aturan/ norma/ pedoman
yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus
ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok/ segolongan manusia/ masyarakat/
profesi.
a.
Prinsip-prinsip
Etika
Prinsip etika memberikan kerangka dasar
bagi aturan etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa professional oleh
anggota. Prinsip etika disahkan oleh kongres dan berlaku bagi seluruh anggota,
sedangkan aturan etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat
anggota himpunan yang bersangkutan. Interpretasi aturan etika merupakan yang
dikeluarkan oleh badan yang dibentuk oleh himpunan setelah memperhatikan
tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan
dalam penerapan aturan etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan
penerapannya. Terdapat 8 prinsip etika profesi, yang merupakan landasan perilaku
etika profesional, memberikan kerangka dasar bagi aturan etika, dan mengatur
pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota, yang meliputi: Tanggung
Jawab Profesi, Kepentingan Umum, Integritas, Obyektifitas, Kompetensi dan
Kehati-hatian Profesionalnya, Kerahasiaan, Perilaku Profesional, dan Standar
Teknis.
b.
Basis
Teori Etika
Menurut Sukrisno (2009) ada banyak teori
etika yang berkembang, sehingga harus dibuat pembedaannya secara garis besar.
Sukrisno membedakan teori etika sebagai berikut:
1. Teori
Egoisme
2. Teori
Utilitarianisme
3. Teori
Dentologi (Teori Kewajiban)
4. Teori
Hak
5. Teori
Keutamaan
6. Teori
etika teonom
c.
Dilema
Etika
Manusia senantiasa dihadapkan pada
kebutuhan untuk membuat keputusan yang memiliki konsekuensi bagi diri mereka
sendiri maupun orang lain. Seringkali dilema etika yang berasal dari pilihan
yang membawa kebaikan pada satu pihak, ternyata tidak membawa kebaikan bagi
pihak lain. Auditor, akuntan, dan kalangan bisnis lainnya menghadapi banyak
dilema etika dalam karier bisnis. Berikut adalah beberapa dilema etika yang
dihadapi:
1. Bernegosiasi
dengan klien yang mengancam untuk mencari auditor baru kalau perusahaan tidak
memperoleh pendapat wajar tanpa pengecualian
2. Memutuskan
akan menegur supervisor yang telah melakukan lebih saji secara material nilai
pendapatan departeman untuk mendapatkan bonus yang lebih besar
3. Melanjutkan
4. Bergabung
di perusahaan yang melecehkan dan memperlakukan pegawai dan pelanggan secara
tidak jujur
d.
Egoism
Teori egoism ini menjelaskan bahwa
tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri (self –interest). Hal ini bertentangan dengan teori altruism, yaitu
tindakan yang peduli pada orang lain atau lebih mengutamakan kepentingan orang
lain dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri.
e.
Utilitariatisme
Teori ini memandang bahwa suatu tindakan
dikatakan baik jika memberi manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat.
Jadi ukuran baik buruknya tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, dan tujuan
dari tindakan tersebut, apakah memberikan manfaat atau tidak.
f.
Deontologi
Dipelopori oleh Emmanuel Kant (1724 –
1804),kewajiban moral harus dilaksanakan demi kewajiban itu sendiri, bukan
karena ingin memperoleh tujuan kebahagiaan, bukan juga karena perintah agama.
Moralitas adalah otonom dan harus berpusat pada pengertian manusia berdasarkan
akal sehat yang dimiliki manusia itu sendiri.
g.
Virtue
Etics
Maksud dari teori keutamaan ini dalah
setiap manusia harus tahu dan dapat memposisikan perilakunya atau wataknya
sehingga individu tersebut dapat berperilaku atau bertingkah laku dengan baik
secara moral.
II.
PERILAKU
ETIKA DALAM PROFESI AKUNTANSI
a.
Akuntansi
sebagai Profesi dan Peran Akuntan
Profesi merupakan jenis pekerjaan yang
memenuhi beberapa criteria, sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut
individual yang oenting tanpa melihat apakah suatu pekerjaan merupakan suatu
profesi atau tidak. Profesi akuntan di Indonesia sekarang ini menghadapi
tantangan yang semakin berat. Di Indonesia, etika akuntan menjadi isu yang
sangat menarik. Tanpa etika, profesi akuntansi tidak akan ada karena fungsi
akuntansi adalah penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis
oleh para pelaku bisnis. Disamping itu, profesi akuntansi mendapat sorotan yang
cukup tajam dari masyarakat. Hal ini seiring dengan terjadinya beberapa
pelanggaran etika yang dilakukan oleh akuntan, baik akuntan publik, akuntan
intern perusahaan maupun akuntan pemerintah.
Etika profesi akuntan di Indonesia
diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik ini mengikat para anggota
IAI di satu sisi dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau
belum menjadi anggota IAI di sisi lainnya. Di Indonesia, penegakan Kode Etik
dilaksanakan oleh sekurang–kurangnya enam unit organisasi, yaitu: Kantor
Akuntan Publik, Unit Peer Review Kompartemen Akuntan Publik – IAI, Badan
Pengawas Profesi Kompartemen Akuntan Publik – IAI, Dewan Pertimbangan Profesi
IAI, Departemen Keuangan RI, dan BPKP. Selain keenam unit organisasi tadi,
pengawasan terhadap Kode Etik diharapkan dapat dilakukan sendiri oleh para
anggota dan pimpinan KAP.
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi
tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat
kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan public.
b.
Ekspetasi
Publik
Masyarakat umumnya mempersepsikan akuntan sebagai
orang yang profesional dibidang akuntansi. Dengan demikian
unsur kepercayaan memegang peranan yang sangat penting dalam hubungan
antara akuntan dan pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan ekpektasi
publik terhadap bisnis juga akan mempengaruhi ekpektasi publik terhadap peran
akuntan.
c. Nilai-nilai Etika VS Teknik Akuntansi/
Auditing
Profesionalisme juga menjadi
syarat utama bagi seseorang yang ingin menjadi seorang auditor eksternal. Sebab
dengan profesionalisme yang tinggi kebebasan auditor akan semakin terjamin.
Pertimbangan auditor tentang materialitas adalah suatu masalah kebijakan
profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor tentang kebutuhan yang
beralasan dari laporan keuangan. Gambaran tentang profesionalisme seorang
auditor menurut Hall (1968) tercermin dalam lima hal yaitu: pengabdian pada
profesi, kewajiban sosial, kemandirian, kepercayaan terhadap peraturan profesi,
dan hubungan dengan rekan seprofesi.
d. Perilaku Etika dalam Pemberian Jasa Akuntan
Publik
Menurut Agoes (2004) ada dua
alasan perlunya suatu laporan keuangan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik
(KAP), yaitu
1.
jika tidak diaudit ada kemungkinan bahwa laporan
keuangan tersebut mengandung kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak
disengaja sehingga diragukan kewajarannya oleh pihak–pihak yang berkepentingan
terhadap laporan keuangan, dan
2.
jika laporan keuangan sudah diaudit dan mendapat opini
wajar tanpa pengecualian (Unqualified Opinion) dari KAP
Ini berarti laporan keuangan
tersebut dapat diasumsikan bebas dari salah saji material dan telah disajikan
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku umum di Indonesia.
Laporan keuangan yang mengandung salah saji material dampaknya, secara
individual atau keseluruhan cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan
laporan keuangan disajikan secara tidak wajar dalam semua hal yang material. Di
sinilah peran akuntan publik dalam menentukan tingkat materialitas dalam proses
audit laporan keuangan.
III.
KODE ETIK
PROFESI AKUNTANSI
a. Kode Etik Perilaku Profesional
Dalam hal etika, sebuah profesi
harus memiliki komitmen moral yang tinggi yang dituangkan dalam bentuk aturan
khusus. Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban
profesi tersebut, yang biasa disebut sebagai kode etik. Kode etik harus dipenuhi
dan ditaati oleh setiap profesi yang memberikan jasa pelayanan kepada
masyarakat dan merupakan alat kepercayaan bagi masyarakat luas. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa setiap profesional wajib mentaati etika profesinya terkait
dengan pelayanan yang diberikan apabila menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Seorang auditor bisa dikatakan
profesional apabila telah memenuhi dan mematuhi standar-standar kode etik yang
telah ditetapkan oleh IAI, antara lain:
-
prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh IAI yaitu standar
ideal dari perilaku etis yang telah ditetapkan oleh IAI seperti dalam
terminologi filosofi,
-
peraturan perilaku seperti standar minimum perilaku
etis yang ditetapkan sebagai peraturan khusus yang merupakan suatu keharusan,
-
inteprestasi peraturan perilaku tidak merupakan
keharusan, tetapi para praktisi harus memahaminya, dan
-
ketetapan etika seperti seorang akuntan publik wajib
untuk harus tetap memegang teguh prinsip kebebasan dalam menjalankan proses auditnya,
walaupun auditor dibayar oleh kliennya.
b. Prinsip-prinsip Etika: IAI
Prinsip-prinsip etika yang
dirumuskan IAPI dan dianggap menjadi Kode etik perilaku akuntan Indonesia
adalah
1.
tanggung jawab,
2.
kepentingan masyarakat,
3.
integritas,
4.
obyektifitas dan independen,
5.
kompetensi dan ketentuan profesi,
6.
kerahasiaan, dan
7.
perilaku profesional.
Semakin tinggi akuntan publik
menaati kode etik maka semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitas.
c. Aturan dan Interperstasi Etika
Ada empat bidang utama dimana IAI berwenang
menetapkan standar dan memuat aturan yang bisa meningkatkan perilaku
profesioanal seorang auditor.
1.
Standar auditing. Komite Standar Profesional Akuntan
Publik (Komite SPAP) IAI bertanggung jawab untuk menerbitkan standar auditing.
Standar ini disebut sebagai Pernyataan Standar Auditing atau PSA (sebelumnya
disebut sebagai NPA dan PNPA).
2.
Standar kompilasi dan penelaahan laporan keuangan.
Komite SPAP IAI dan Compilation and
Review Standards Committee bertanggung jawab untuk mengeluarkan pernyataan
mengenai pertanggungjawaban akuntan publik sehubungan dengan laporan keuangan
suatu perusahaan yang tidak diaudit.
3.
Standar atestasi lainnya. Tahun 1986, AICPA menerbitkan
Statement on Standards for Atestation
Engagements.
4.
Materialitas
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, S. 2004. Auditing,
Pemeriksaan Akuntan oleh Kantor Akuntan Publik. Jakarta: LPFE-UI.
Boynton. Modern Auditing edisi
7 jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Hendro Wahyudi dan Aida Ainul Mardiyah. 2006. Pengaruh Profesionalisme Auditor terhadap Tingkat Materialitas dalam
Pemeriksaan Laporan Keuangan. Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.
Herawaty, Arleen dan Yulius Kurnia Susanto. 2009. Pengaruh
Profesionalisme, Pengetahuan Mendeteksi Kekeliruan, dan Etika Profesi Terhadap
Pertimbangan Tingkat Materialitas Akuntan Publik. JAAI, Volume 13, Nomor 2,
Desember 2009, Halaman 211-220.
Indiana Farid Martadi dan Sri Suranta.
2006. Persepsi Akuntan, Mahasiswa
Akutansi, Dan Karyawan Bagian Akutansi Dipandang Dari Segi Gender Terhadap
Etika Bisnis Dan Etika Profesi (Studi Di Wilayah Surakarta). Simposium
Nasional Akuntansi 9 Padang.
Isnanto, R. Rizal. 2009.
Buku ajar etika profesi.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Lubis, Irwansyah dan Rayendra L.
Toruan. 2010. Menggali Potensi Pajak
Perusahaan dan Bisnis dengan Pelaksanaan Hukum. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Sri Hutami. 2010. “Tax Planning
(Tax Avoidance Dan Tax Evasion) dilihat dari Teori Etika”. E-journal
Politama, Vol.9 No.2 (2010).
Sukrisno Agus & I cenik Ardana. 2009. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta: Salemba Empat.
Saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh penulis buku dan juga jurnal yang saya cantumkan di daftar pustaka yang secara tidak langsung mengizinkan saya untuk mengambil ilmu dari tulisannya. Mohon maaf jika ada penambahan kata-kata dari tulisannya