Proses
“evolusi melalui seleksi alam” yang dicetuskan oleh Darwin menjelaskan
bagaimana seleksi alam dapat memengakibatkan mahluk hidup berevolusi. Dari
teorinya mengenai seleksi alam, disebutkan bahwa suatu organisme hidup memiliki
kecendrungan untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Faktor adaptasi dari hewan
itu dapat meliputi bentuk morfologi luar atau pun fisiologis. Akan tetapi tidak
itu saja yang menjadi faktor penentu suatu individu dapat beradaptasi, akan
tetapi dari ciri kelamin sekunder yang dimiliki suatu individu juga memiliki
andil, khususnya yang ada pada hewan.
Ciri
kelamin sekunder tersebut yang di kembangkan dari teori seleksi alam merupakan
suatu ciri kelamin sekunder yang dimiliki oleh hewan, salah satu contohnya
adalah bentuk bulu pada burung merak yang digunakan untuk menarik lawan
jenisnya. Pada kasus tersebut, jantan yang berbulu indah dan panjang merupakan
suatu kelebihan dari dirinya untuk membuat para betina tertarik. Dengan begitu
merak tersebut mendapatkan peluang lebih besar untuk melakukan reproduksi
dibandingkan dengan jantan lainnya. Hal ini dinamakan dengan seleksi seksual.
Seleksi
seksual akan menyeleksi individu yang secara fenotif tidak menarik bagi
pasangannya. Seleksi yang dimaksud bukan disebabkan karena tidak dapatnya
beradaptasi, tetapi terjadi seleksi kepunahan karena individu tersebut tidak
dapat meneruskan kelangsungan hidup jenisnya pada generasi berikutnya.
Dari
seleksi seksual tersebut, memicu permasalahan baru. Salah seorang ilmua asal
Israel yaitu Zahavi, mengemukakan teori baru. Teorinya mengatakan bahwa,
terdapat kecacatan pada seleksi seksual. Seperti yang dikatakan diawal, bahwa
seekor merak jantan dapat dikatakan lolos dari seleksi jika hewan tersebut
memiliki bulu yang indah dan panjang. Perawakan yang seperti itu sebenarnya
lebih berpeluang untuk mengundang pemangsa dari merak tersebut. Sehingga pada
kasus tersebut, Zahavi mengemukakan teorinya yang disebut dengan Teori
Handicap.
A. Kecacatan
Pada Seleksi Seksual
Seleksi seksual
merupakan seleksi yang berdasarkan pada kemampuan suatu organisme untuk
bertahan guna meneruskan keterunannya dari generasi ke generasi. Kemampuan
bertahan ini diiringi dengan adanya ciri kelamin sekunder. Ciri kelamin
sekunder pada jantan dan betina memiliki perbedaan yang jelas
pada jenis spesies hewan.
Perbedaan
tersebut dapat terlihat jelas dengan perbedaan bentuk dan ukuran. Akan tetapi
terkadang mencakup ciri seperti warna bulu pada burung jantan, rambut pada
singa jantan, tanduk rusa pada singa jantan dan hiasan lainnnya. Perbedaan
bentuk antara jantan dan betina seperti itu disebut dengan dimorfisme seksual.
Sebagian besar, kasus dimorfisme tersebut, hewan jantan merupakan jenis kelamin
yang lebih mencolok. Pada beberapa kasus, jantan dengan sifat maskulin yang
sangat menawan mungkin bisa menjadi makhluk yang paling menarik bagi hewan
betina. Ada juga spesies dimana struktur sekunder bias digunakan dalam
persaingan langsung dengan hewan jantan yang lain. Hal tersebut umum ditemukan
pada seekor hewan jantan yang memiliki banyak betina. Jantan tersebut dapat
berhasil karena mengalahkan jantan yang lebih kecil, lemah, atau yang kurang
kuat dalam pertarungan, tetapi yang lebih sering terjadi adalah mereka yang
bersemangat bersainglah yang akan mengendurkan pesaingnya.
Banyak
ciri sekunder pada hewan yang nampaknya tidak adaptif jika dilihat secara umum.
Contohnya seperti warna bulu pada burung yang menarik pada jantan yang
merupakan penyesuaian terhadap lingkungan akan tetapi disisi lain terdapat hal
itu dapat menarik pemangasanya. Pada contoh yang lain, ketika para rusa jantan
bertarung dengan menggunakan tanduknya, dilain sisi akan melemahkan penjagaan
terhadap dirinya. Rusa jantan tersebut akan berpeluang terseleksi atau
termangsa oleh predatornya.
Dari
hal tersebut, timbullah pemahaman baru bahwa ada kerugian yang ditimbulkan dari
ciri sekunder tersebut. Tidak semua hewan dapat lolos hanya dari ciri sekunder
yang dimilikinya, tetapi seekor hewan juga harus memiliki daya juang untuk
menghindar dari pemangsa, dengan begitu hewan tersebut dapat dikatakan lolos
dari seleksi.
B. Teori
Handicap
Teori
ini dicetuskan oleh Amotz Zahavi, seorang ahli biologi dari Israel. Ia
mencetuskan teori tersebut dari melihat dari struktur morfologi hewan.
Bagaimana setiap hewan memiliki ornamen atau organ tambahan untuk mempercantik
diri mereka, contohnya seperti bulu pada burung merak. Dari hal itu, Zahavi
melihat sisi lain, bahwa bulu merak jantan yang cantik dan panjang meerupakan
suatu sinyal yang digunakan untuk menarik para betina.
Zahavi
mengatakan bahwa, suatu individu dengan karakter seksual yang berkembang dengan
baik adalah individu yang dapat bertahan dari seleksi. Hal ini karena pada
umumnya, seekor betina akan memilih jantan dengan karakter seksual yang baik,
yang nantinya dapat menghasilkan keturunan yang baik pula, sehingga dapat
terhindar dari proses seleksi.
Teori
yang dikemukakan oleh Zahavi dikenal sebagai teori kecacatan atau handicap
teori. Teori Handicap adalah hipotesis yang awalnya diusulkan pada tahun 1975
bermaksud untuk menjelaskan bagaimana evolusi dapat menyebabkan sinyal antara
hewan yang memiliki motivasi yang jelas untuk menggertak atau menipu satu sama
lain. Teori Handicap menunjukkan bahwa sinyal dapat diandalkan harus mahal
untuk signaler itu, biaya signaler sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh
seorang individu dengan kurang dari suatu sifat tertentu. Sebagai contoh, dalam
kasus seleksi seksual, teori ini menunjukkan bahwa hewan yang lebih besar
ketahanan biologis, sinyal tersebut dapat ditunjukan melalui handicapping
perilaku atau morfologi yang secara efektif menurunkan kualitas ini. Ide
utamanya adalah bahwa seksual dipilih sifat berfungsi seperti konsumsi
berlebihan, menandakan kemampuan untuk mampu untuk menyia-nyiakan sumber daya.
Penerima tahu bahwa sinyal menunjukkan kualitas karena signalers berkualitas
rendah tidak mampu untuk menghasilkan sinyal tersebut.
Sifat
umum dari fenomena tersebut adalah masalah beberapa perdebatan dan perbedaan
pendapat, dan pandangan Zahavi pada ruang lingkup dan pentingnya cacat dalam
biologi tetap berada di luar mainstream. Namun demikian, ide itu telah menjadi
hal yang sangat berpengaruh bagi peneliti karena beberapa peneliti percaya
bahwa teori ini menjelaskan beberapa aspek komunikasi hewan
Menurut
Zahavi, ekor pada burung merak jantan membuat dirinya lebih renta terhadap
predator. Tetapi lain halnya dari sisi pandang burung merak betina. Ekor sang
merak jantan membawa sinyal tersendiri bagi calon pasangannya. Hal ini yang
disebut sebagai teori kecacatan karena disisi lain keindahan ekor sang jantan
disitu juga terdapat bahaya yang mengancam jiwanya. Merak jantan dikatakan
lolos dari seleksi ketika jantan tersebut berhasil memikat sang betina untuk
memperbanyak keturunannya dan juga dapat lolos dari pemangsanya.
Sumber: "Makalah Evolusi Teori Handicap" oleh Mahasiswa Pendidikan Non Reguler 2008 Universitas Negeri Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar